Perubahan Kurikulum dan Tugas Guru
Oleh : Rachmadi Widdiharto
Pelaksanaan Ujian Nasional (UN) tahun 2013 baru saja usai, torehan hitam mewarnai agenda tahunan yang digelar oleh Kemendikbud sebagai pemegang otoritas pelaksanaaan asesmen pendidikan skala nasional. Digelarnya ujian yang tidak serentak (khususnya jenjang SMA/SMK), kualitas pencetakan soal, lembar jawab yang tipis, serta isu kebocoran masih menghiasi media masa terkait pelaksanaan UN. Isu ini cukup marak hingga sempat melupakan isu “perubahan” kurikulum yang santer diberitakan awal tahun 2013. Bayang-bayang hitam ini sempat menghantui Kemendikbud untuk meng-eksekusi kurikulum 2013 dimana tahun ajaran 2013/2014 sudah di depan mata.
Hunkins & Ornstein (1998, 320) menyebutkan sebagai sebuah “guideline” dalam mengawal jalannya pendidikan, kurikulum idealnya dalam kurun waktu 7-10 harus dievaluasi atau dikaji ulang untuk disesuaikan dengan perkembangan jaman, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan dinamika masyarakat. Artinya “perubahan” kurikulum atau tepatnya pengembangan kurikulum dari kurikulum yang sudah ada sebelumnya yakni KBK tahun 2004 ataupun KTSP tahun 2006 sudah sewajarnya untuk dikaji ulang. Bisa dipahami apabila sementara kalangan merasakan terlalu terburu-buru untuk diganti dengan kurikulum 2013, guru dan orang tua merasa baru “tune-in” dengan kurikulum sebelumnya akan tetapi justru akan diganti. Siswa merasa sudah ‘settle” dengan buku, LKS ternyata akan digantikan dengan buku dengan kemasan lain. Sementara para pemerhati ekonomi-pendidikan melihat, pengembangan kurikulum yang membutuhkan dana trilyun-an rupiah merupakan pemborosan dana yang kadang sulit diukur keberhasilan maupun efektifitasnya.
Hunkins & Ornstein (1998, 320) menyebutkan sebagai sebuah “guideline” dalam mengawal jalannya pendidikan, kurikulum idealnya dalam kurun waktu 7-10 harus dievaluasi atau dikaji ulang untuk disesuaikan dengan perkembangan jaman, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan dinamika masyarakat. Artinya “perubahan” kurikulum atau tepatnya pengembangan kurikulum dari kurikulum yang sudah ada sebelumnya yakni KBK tahun 2004 ataupun KTSP tahun 2006 sudah sewajarnya untuk dikaji ulang. Bisa dipahami apabila sementara kalangan merasakan terlalu terburu-buru untuk diganti dengan kurikulum 2013, guru dan orang tua merasa baru “tune-in” dengan kurikulum sebelumnya akan tetapi justru akan diganti. Siswa merasa sudah ‘settle” dengan buku, LKS ternyata akan digantikan dengan buku dengan kemasan lain. Sementara para pemerhati ekonomi-pendidikan melihat, pengembangan kurikulum yang membutuhkan dana trilyun-an rupiah merupakan pemborosan dana yang kadang sulit diukur keberhasilan maupun efektifitasnya.
Urgensi perubahan
Sedikitnya ada 3 (tiga) alasan mendasar mengapa kurikulum kita perlu dikembangkan (Kemendikbud, 2012). Pertama, demographic dividend atau
bonus demografi. BPS tahun 2011 menyebutkan, struktur penduduk
Indonesia th.2010 usia 0-9 th sebesar 45,93 juta, sementara usia 9-14
tahun sebesar 43,55 juta.
Apabila diproyeksikan 35-40 tahun ke depan, yakni memasuki 100 tahun,
usia emas kemerdekaan kita (tahun 2045) mereka akan memasuki usia
produktif. Negara maju di Eropa juga Amerika pada sekitar tahun tersebut dengan harapan hidup (life expectancy) yang tinggi, akan lebih banyak dibebani untuk menangani elder people (usia 70-an tahun ke atas yang notabene kurang produktif). Indonesia diuntungkan dengan jumlah usia produktif yang lebih banyak dan inilah sumber daya manusia yang tentunya harus disiapkan dan digarap secara matang menghadapi tantangan global.
Kedua, global competitiveness
atau persaingan global. Berkaca dari hasil TIMSS ataupun PISA sebagai
parameter prestasi siswa pada skala internasional, kita perlu mengkaji
kembali bagaimana praktik pembelajaran yang sebenarnya terjadi. Prestasi
siswa kita masih cukup memprihatinkan.yakni pada peringkat 39 (TIMSS
th. 2011) dan peringkat 42 (PISA th. 2010) menuntut kita untuk
“mengintip” praktik pembelajaran di negara-negara yang berhasil dalam
menerapkan scientific approach
(yakni: mengamati, menanya, menalar, dan menyusun
jejaraing/menyimpulkan) dalam membelajarkan siswanya. Paradigma
konstruktivisme, collaborative learning, serta authentics assessment menjadi pilar-pilar pendidikan dalam mencerdaskan anak bangsanya.
Ketiga,
pergeseran paradigma pembangunan dari pembangunan yang berbasis sumber
daya (alam) mengarah pada pembangunan berbasis peradaban. Sumber
daya alam bukan lagi sebagai modal pembangunan, akan tetapi
peradabanlah yang akan menjadi modal pembangunan. Sumber daya manusia
bukan lagi beban pembangunan, akan tetapi SDM beradablah yang menjadi
modal pembangunan. Transformasi ini hanya bisa dilakukan dengan
pendidikan. SDM beradab adalah SDM yang berpendidikan (berpengetahuan
dan berketrampilan) dan berbudaya (berkarakter). Fenomena
negatif yang mengemuka: perkelahian pelajar, narkoba, korupsi,
plagiarisme, kecurangan dalam ujian (nyontek, kerpek, dsb). adalah
bentuk lemahnya penguatan aspek afektif pendidikan yang mermuara pada
dekadensi perdaban manusia.
Menghadapi
akan diberlakukannya kurikulum 2013 secara bertahap dan terbatas,
setidaknya ada 3 (tiga) hal yang bisa dilakukan guru. Pertama, perubahan mind set/pola pikir. Pengembangan kurikulum dengan pendekatan saintifik memungkinkan siswa untuk terlibat aktif dalam pembelajaran melalui mengamati, menanya, menalar pada proses inquiry,
eksplorasi, dan elaborasi. Perubahan pola pikir guru dibutuhkan untuk
bisa berperan lebih menjadi fasilitator dan motivator dari pada
inisiator dan eksekutor, dalam merubah dari teacher centered ke student centered. Implementasi collaborative learning
akan membantu siswa bisa menyikapi keberagaman dan kerjasama sebagai
etos akademik dalam menemukan dan mengungkap feomena ilmiah, yakni dari
kebiasaan anak diberi tahu mengarah kepada memfasilitasi anak mencari
tahu. Sementara authentics assessment semakin dikedepankan sebagai assessment for learning dari pada assessment of learning. Hal-hal tersebut bisa terwujud tatkala ada good will dari para guru untuk merubah mind set-nya bahwa tugas mengajar adalah sebagai komitmen profesi dalam membelajarkan dan mencerdaskan anak bangsa.
Kedua,
tindakan konstruktif dan inovatif. Rencana pengembangan kurikulum 2013
yang akan diikuti dengan fasilitasi buku siswa, buku pedoman guru,
maupun silabus serta RPP-nya tentunya tidak malah membuat guru merasa
“santai” dalam mengajar. Akan
tetapi hal ini dimaksudkan dengan harapan guru tidak lagi terlalu
disibukkan dengan hal-hal yang bersifat administratif, tetapi lebih
fokus pada kegiatan inovatif akademis pembelajaran di kelas. Keunikan
peserta didik, keragaman lingkungan belajar, maupun keterbatasan
sarana/prasarana yang ada adalah
adagium pedagogis yang harus disikapi tentunya dengan penyesuaian
strategi/model pembelajaran yang adaptif dan edukatif. Artinya, guru
justru harus mengkritisi secara konstruktif dan inovatif buku, silabus, dan RPP yang ada untuk disesuaikan dengan peserta didiknya. Ibarat seorang pastry; meski resep dan bahan rotinya sama, namun di tangan pastry yang profesional akan dihasilakn roti yang berbeda dengan pastry
yang amatiran. Keahliaan, kejelian dan kecerdasan guru dalam meramu “
kompetensi inti, dan kompetensi dasar; aspek sikap, pengetahuan, dan
aspek keterampilan; akan menghasilkan siswa yang kompeten dan men-drive berpikir high order thinking dalam bangku sekolahnya guna keberlanjutan pada jenjang berikutnya. Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) baik melalui level
sekolah maupun kelompok/wadah se-profesi (KKG/MGMP), perlu ditingkatkan
untuk saling asah, asih, dan asuh sesama kolega guna menghasilkan
siswa-siswa yang cerdas dan unggul.
Ketiga,
sikap teladan guru. Seiring dengan kompleksitas dan perkembangan
peradaban dunia di era globalisi, tugas mendidik guru perlu dikedepankan
dalam aspek penguatan sikap dan budi pekerti siswa. Pendidikan
karakter tidak hanya terhenti pada pengetahuan saja akan tetapi perlu
suatu pengintegrasian pada pembiasaan pembelajaran, suri tauladan,
apresiasi dan implementasi norma
akademis yang nantinya tercermin pada norma sosial yang semakin utuh
dalam praktik berbangsa dan bernegara. Terkait dengan hal tersebut, tugas
guru utamanya untuk mengintegrasikan nilai sikap dan pendidikan
karakter dalam praktik pembelajaran yang diampunya, yang selanjutnya
akan menjadi school culture
untuk bisa merambah entitas diri pribadi siswa yang berkarakter. Inilah
yang dibutuhkan dalam kehidupan kelak menyongsong ketatnya persaingan
global untuk tetap berpegang pada jati diri bangsa.
Suatu keharusan?
Tatkala kita meng-“amin-i”
rasional urgensi perubahan di atas, maka kita sepakat bahwa
pengembangan kurikulum dibutuhkan dalam menyiapkan generasi mengahadapi
ulang tahun emas kemerdekaan kita. Pengembangan kurikulum diharapkan
akan menciptakan sumber daya manusia yang produktif, kreatif, inovatif
dan afektif. Penguatan
kemampuan afektif yaitu sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang
terintegrasi, serta pembiasaan untuk bekerja dalam jejaring melalui collaborative learning,
penguatan kreativitas, serta pendidikan karakter akan membekali dalam
memenangi ketatnya persaingan global. Namun demikian, sekiranya kita
sanksi akan rasional urgensi di atas, bukan tidak mungkin kita menelantarkan
anak cucu kita dalam kancah atau “kubangan” globalisasi yang bisa
mengancam integritas dan jati diri bangsa dalam wadah NKRI. Adalah tugas
pemerintah untuk menjalankan amanah ini dengan transparan, akuntabel
dan visioner dalam integritas dan dedikasi kenegarawanan seorang
pemimpin. Sementara masyarakat akan selalu mengawal implementasi dan
pengawasannya. Sekali lagi tahun ajaran 2013/2014 di depan mata, pelaksanaan UN menjadi pelajaran berharga jika ingin meng-eksekusi kurikulum 2013 secara bertahap dan terbatas ataupun dalam bentuk piloting.
Referensi
Kemendikbud (2012). Pengembangan Kurikulum 2013 (Paparan Mendikbud pada SosialisasiKurikulum 2013 di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, tgl. 28 Februari 2013.
Ornstein, A.C. & Hunkins, F.P. (1998). Curriculum: Foundations, principles, and issue.(3rdEdition) MA. Allyn & Bacon.
Sumber : P4TKMatematika
Sumber : P4TKMatematika